Senin, 19 Maret 2012

hukum waris 2


2.   Pengaruh Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama dan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama.
Produk hukum ini memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama Islam untuk memeriksa dan memutus perkara waris bagi orang-orang yang beragama islam (penerapan asas personal). Dengan diterbitkannnya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 mempertegas diberlakukannya Politik Hukum Nasional yang tidak lagi mengenal pergolongan penduduk, terlihat dari di perluasnya kewenangan mengadili dari Pengadilan Agama untuk memeriksa dan menyelesaikan pembagian warisan bagi WNI yang beragama islam, dan di perkenalkannya suatu opsi hukum (choice of law). Kemudian dengan di telah diterbitkannya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama semakin memperjelas politik hukum nasional dengan mempertegas diterapkannya asas personal bagi WNI yang  beragama Islam setiap perkara warisan diselesaikan di Pengadilan Agama dengan menghilangkan opsi hukum.
Opsi Hukum atau Choice of Law dapat digambarkan dalam beberapa tahap, yaitu ; Sebelum Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama, setelah Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama, dan setelah Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama Islam untuk memeriksa dan memutus perkara waris bagi orang-orang yang beragama Islam  (penerapan asas personal), hal tersebut berdasarkan pasal 49 ayat 1 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 yang merupakan kewenangan absolut Pengadilan Agama. Artinya bagi orang-orang yang beragama Islam dapat mengajukan perkara warisnya ke Pengadilan Negeri untuk diperiksa dan diputus menurut Hukum Waris Adat atau ke Pengadilan Agama untuk diperiksa dan diputus menurut Hukum Waris Islam.
Lebih konkritnya, berdasarkan pasal 49 ayat 1 Undang-Undang No.7 Tahun 1989 maka Pengadilan Agama bertugas dan berwenang  memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang Islam di bidang ;
a)      Perkawinan;
b)      Kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum islam;
c)      Wakaf dan shadaqah.
Kewenangan tersebut dipertegas lagi dalam pasal 49 ayat 3 Undang-Undang 1989, yaitu ; Bidang Kewarisan yang dimaksud ialah penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.
Namun terdapat pembatasan terhadap ketentuan tersebut sebagaimana ketentuan yang ditegaskan dalam pasal 50 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 yaitu jika terjadi sengketa hak milik atau kepedataan lain dalam perkara sebagimana yang dimaksud dalam pasal 49, maka objek sengketa harus harus diputus terlebih lebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Kemudian kewenangan Pengadilan Agama dihadapkan pada hak yang dimiliki pencari keadilan untuk mempertimbangkan pemilihan hukum yang akan digunakan dalam pembgaian warisan.
Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui SEMA NO. 2 Tahun 1990 tentang petunjuk pelaksanaan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, khususnya pengaturan mengenai pilihan hukum, pilihan hukum merupakan masalah yang terletak diluar badan peradilan, dan berlaku bagi mereka atau golongan rakyat yang hukum warisnya tunduk pada hukum adat dan/atau hukum islam, atau tunduk pada hukum perdata barat (BW) dan/atau hukum Islam, dimana mereka boleh memilih hukum adat atau hukum perdata barat (BW) yang menjadi wewenang Pengadilan Negeri atau memilih hukum Islam yang menjadi wewenang Pengadilan Agama.
Secara historis politik hukum mulai bergeser, arah politik hukum mulai berubah, yaitu pada jaman Pemerintah Hindia Belanda politik hukumnya berorientasi pada pergolongan penduduk kemudian di teruskan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan sedikit-sedikit dan secara bertahap dilakukan perubahan kearah politik hukum nasional yang menghendaki hanya ada satu golongan penduduk yaitu warga negara Indonesia dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan Republik Indonesia.
Pergeseran politik hukum terlihat dengan adanya pilihan hukum, cara pikirnya tak lagi didasarkan pada pergolongan penduduk tetapi berorientasi pada hak dari warga negara Indonesia yang beragama Islam. Secara individualsebaga masalah yang terletak diluar badan peradilan serta kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri. Mengenai hukum adat maka akan tertuju pada gambaran adanya masyarakat setempat yang ada di Indonesia terdapat banyak corak dan bentuk, dan terdapat pula aneka ragam agama yang dianut oleh masyrakat setempat. Yang dimaksud sebagai orang-orang yang beragama islam ialah mereka warga negara Indonesia yang beragama Islam (asas personal).
Pengadilan Negeri berwenang memeriksa perkara waris yang ditunduk pada Hukum Waris BW dan Hukum Waris Adat. Metode pilihan hukumnya menjadi, warga negara Indonesia yang beragama Islam dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perkara warisnya ke Pengadilan Negeri atau ke Pengadilan Agama.

a.    Opsi hukum atau choice of law setelah Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama.
Metode pilihan hukum atau choice of law dalam praktek menimbulkan permasalahan pada aspek keadilan, yakni ketidakadilan dalam menyelesaikan perkara waris bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam. ketidakadilan terletak pada prosesnya, prosesnya diserahkan pada pencari keadilan, proses pilihan hukum diajukan oleh pencari keadilan sendiri dengan cara mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama. Dalam proses tersebut akan dijumpai persoalan persinggungan keadilan yaitu mengenai siapa ahli waris dan hak serta bagian para ahli waris, persinggungan keadilan itu karna dalam persepsi hukum waris menurut ketentuan Hukum Islam dan hukum waris menurut ketentuan Hukum waris BW serta hukum waris menurut ketentuan Hukum Adat adalah berbeda.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama merupakan produk hukum yang bersumber dan berdasarkan atas UUD 1945 dan Pancasila serta berorientasi pada politik hukum nasional yaitu unifikasi hukum dan hanya mengenal 1 golongan penduduk yaitu warga negara Indonesia dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan Republik Indonesia. Akan tetapi masih ada pluralisme hukum, khususnya dalam bidang hukum waris karna belum terbentuknya hukum waris nasional, maka dalam hal ini oleh pembentuk undang-undang pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama dilakukan perubahan pada ayat 1 yaitu dengan meniadakan opsi hukum/pilihan hukum atau choice of law sebagai pemecahan masalahnya, maka dengan ditiadakannya opsi hukum dalam pasal 49 maka seluruh warga negara Indonesia yang beragama Islam baik keturunan Eropa, keturunan Tiong Hoa sampai keturunan Bumi Putera akan diberlakukan sistem hukum menrut ketentuan Hukum Waris Islam dalam perkara warisnya.
Dengan demikian maka Hukum Waris BW berlaku bagi warga negara Indonesia yang beragama non Islam baik keturuanan Eropa maupun Tiong Hoa dan menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. Hukum Waris Adat berlaku bagi warga negara Indonesia Bumi Putera atau Indonesia Asli yang ebragama non Islam dan menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. Hukum Waris Islam berlaku bagi warga negara Indonesia keturunan Eropa, keturuanan Timur Asing Tiong Hoa dan Timur Asing lainnya, Bumi Putera atau Indonesia Asli yang beragama Islam dan menjadi kewenangan Pengadilan Agama.
Dalam segi kepraktisan peniadaan opsi hukum menjadi pemecahan masalah dalam penerapan hukum waris positif, namun menjadi permasalahan baru dalam segi akademis karna pembentuk undang-undang secara revolusioner melakukan pemaksaan terhadap berlakunya kaidah hukum Hukum Waris Islam bagi warga negara yang beragama Islam. Dalam aspek empiris kesadaran hukum waris BW bagi keturuanan Eropa dan keturunan Tiong Hoa dan kesadaran hukum waris Adat bagi warga negara Indonesia keturunan Bumi Putera atau Indonesia Asli sudah turun menurun yang menjelma menjadi perasaan hukum masyarakat yang berjalan ratusan bahkan ribuan tahun dengan seketika (secara revolusioner) harus menggunakan Hukum Waris Islam untuk menyelesaikan perkara waris di antara orang-orang yang beragama Islam, dalam artian Hukum Waris BW masih berlaku bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam baik keturunan Eropa maupun keturunan Tiong Hoa jika tanpa Sengketa atau dengan jalan musyawarah di luar pengadilan, sama halnya dengan berlakunya Hukum Waris Adat bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam baik keturunan Bumi Putera ataupun keturunan Indonesia Asli asalkan tanpa adanya sengketa atau dengan jalan musyawarah di luar Pengadilan.
Secara ekstrim dari aspek kewenangan mengadili perkara waris maka Pengadilan Negeri melayani proses penyelesaian Sengketa waris bagi warga negara Indonesia non Islam (minoritas) sedangkan Pengadilan Agama melayani proses penyelesaian Sengketa waris bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam (mayoritas).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar