1.
Pengaruh
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Dengan
berlakunya Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka dalam hal
ini berlaku asas “Lex Posterior Derogate Lex Priori “, yaitu bahwa undang-
undang baru membatalkan undang- undang terdahulu sejauh undang- undang tersebut
mengatur hal yang sama.
Dan sejak
diberlakukannya Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tersebut
maka tidak diberlakukan lagi hukum perkawinan yang diatur dalam KUHPerdata. Dan
konsekuensinya adalah bagi orang- orang yang melakukan perkawinan sebelum
diberlakukan UU Nomor 1 Tahun 1974 mereka tunduk pada sistem hukum waris
KUHPerdata (BW), dan bagi orang- orang yang melakukan perkawinan setelah adanya
UU No 1 Tahun 1974 maka tidak diberlakukan lagi hukum waris menurut KUHPerdata.
Indonesia
mengenal tiga macam sistem hukum waris sebagai hukum positif yaitu Sistem Hukum
Waris KUH Perdata (BW), Sistem Hukum Waris Adat dan Sistem Hukum Waris Islam.
Hal ini berdasarkan atas ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, secara
yuridis yang dimaksud dengan peralihan yaitu berlaku sementara sepanjang belum
ditentukan hukum yang baru atas dasar UUD 1945 sebagai Hukum Nasional. Sistem
hukum waris positif saat ini hanya berlaku sementara atas dasar Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945, sampai terbentuk peraturan baru yang bersumber dan
berdasarkan atas UUD 1945 dan Pancasila. Sebagai suatu sistem, hukum waris
mempunyai hubungan yang bersifat sistemik dan sebagai akibat dari Sistem Hukum
Keluarga dan dan Hukum Perkawinan. Dengan berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan yang mengatur Hukum Keluarga, Hukum Perkawinan,
Kedudukan suami Isteri di dalam perkawinan dan Harta Benda Perkawinan yang berbeda
dengan prinsip KUH Perdata (BW).
Sejak berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, ketiga Sistem Hukum Waris Positif posisinya mulai terlihat
bersifat sementara, terutama Sistem Hukum Waris BW. Sebagai konsekuensinya,
Hukum Perkawinan yang diatur dalam KUH Perdata (BW) dinyatakan tidak berlaku
lagi sejak saat di undangkannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Maka Sistem Hukum Waris KUH Perdata (BW) hanya berlaku bagi orang
yang semula tunduk kepada KUH Perdata (BW) yang melangsungkan perkawinannya
sebelum di berlakukannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974, sedangkan mereka yang
yang melakukan perkawinan seteleh di berlakukannya Undang-undang No. 1 Tahun
1974 tidak lagi diberlakukan ketentuan hukum waris menurut KUH Perdata (BW).
Untuk Sistem Hukum Islam dan Sistem Hukum Adat masih berlaku sebagai hukum
positif karna secara historis kedua sistem tersebut telah lama hidup dan
berlaku dalam masyarakat yang sama yaitu masyarakat Indonesia yang beragama
Islam, khususnya dalam bidang Hukum waris kedua sistem tersebut memegang
peranan penting dalam mewujudkan cita-cita hukum yaitu sebagai sumber hukum terbentuknya
Hukum Nasional. Berbeda dengan posisi Sistem Hukum Waris KUH Perdata (BW),
Sistem Hukum Waris Islam dan Sistem Hukum Waris Adat kedepan akan menjadi
sumber hukum potensial dalam terbentuknya Hukum Waris Nasional.
Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan merupakan salah satu bentuk produk Hukum
Nasional yang bersumber dan berdasarkan atas UUD 1945 dan Pancasila. Berkaitan
dengan bidang hukum waris, maka dalam hal ini pembentuk Undang-undang melalui
UU No. 1 Tahun 1974 melakukan perubahan politik
hukum terhadap aspek hukum keluarga dan perkawinan.
Perkawinan
bertujuan membentuk keluarga, dan keluarga akan menjadi dasar pembentukan
masyarakat nasional (basic sosial
structure). Dengan di tetapkannya politik hukum di bidang hukum keluarga
dan perkawinan maka prinsip-prinsip dasar keluarga yang di berlakukan secara
nasional merupakan nilai baru yang menjadi arah dalam melakukan sosial engeneering. Perubahan yang
dimaksud ialah perubahan masyarakat secara revolusioner yang berorientasi pada
politik hukum nasional yaitu unifikasi hukum dan tidak adanya pergolongan
penduduk dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan bagi
setiap warga negara indonesia sehingga tidak lagi berorientasi pada politik
hukum Pemerintahan Hindia Belanda yaitu pluralisme hukum dan adanya pergolongan
penduduk di indonesia.
Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 merupakan bentuk unifikasi hukum berdasarkan politik hukum
nasional dan di berlakukan bagi seluruh warga negara indonesia di seluruh
wilayah hukum Republik Indonesia. secara normatif terjadi perubahan
revolusioner dan mendasar terhadap sistem hukum perkawinan dan struktur hukum
keluarga masyarakat Indonesia karena Undang-undang tersebut di berlakukan
secara serentak bagi seluruh warga negara Indonesia sejak saat di berlakukan.
Dengan telah di berlakukannya Undang-undang No. 1
Tahun 1974 bagi seluruh warga negara Indonesia termasuk yang beragama islam,
maka para ulama membentuk Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai hasil dari
interpretasi hukum mengenai hukum keluarga dan perkawinan serta hukum waris
dengan berlandaskan Inpres No. 1 Tahun 1991.
UU No. 1
tahun 1974 ini sangat berarti dalam perkembangan Peradilan Agama di Indonesia,
karena selain menyelamatkan keberadaan Peradilan Agama sendiri, sejak disahkan
UU No. 1 tahun 1974 tentanng Perkawinan jo. PP No. 9 tahun 1975 tentang
peraturan Pelaksanaanya, maka terbit pulalah ketentuan Hukum Acara di Peradilan
Agama, biarpun baru sebagian kecil saja. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan menampak menjelaskan kedudukan Peradilan Agama dalam sistem
peradilan di Indonesia. Hanya saja putusan dan penetapan Pengadilan Agama tidak
dapat dilaksanakan sebelum ada pengukuhan dari Peradilan Umum.
Sebelum Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama Hukum
Waris Positif masih berorientasi pada politik hukum Pemerintah Hindia Belanda
yaitu, adanya pluralisme hukum dan pergolongan penduduk. Satu-satunya pengadilan
yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara warisan adalah Pengadlan Negeri,
opsi hukum atau choice of law terjadi
karena golongan penduduk dari masyarakat Bumi Putera yang beragama Islam berada
pada dua wilayah hukum, yaitu Hukum Islam dan Hukum Adat.
Jika
mereka tidak menggunakan haknya untuk melakukan pilihan hukum maka oleh
Pengadilan Negeri akan diterapkan Hukum Adat dan dalam pandangan Pemerintah
Hindia Belanda Hukum Islam bukan Undang-undang
melainkan hanya bagian dari Hukum Adat. dalam hal ini para pihak dapat
mengajukan permohonan pada hakim agar perkara warisnya di periksa dan di adili
dengan menggunakan Hukum Islam. Pada waktu itu Pengadilan Agama hanya mempunyai
kewenangan dalam aspek NTR (Nikah, Talak, dan Rujuk).
Dalam
kaitannya dengan opsi hukum atau choice
of law maka persyaratan yang harus di penuhi pada saat itu untuk adanya hak
melakukan pilihan hukum ialah ;
1. Semua
pihak dalam perkara yang di ajukan harus beragama Islam, Hukum Waris Islam
hanya di terapkan bagi orang-orang yang beragama Islam saja, jika salah satu
pihak tidak beragama Islam maka dalam perkaranya akan diterapkan Hukum Waris
Adat.
2.
Semua pihak sepakat perkara warisnya diperiksa dan
diadili dengan Hukum Waris Islam. dalam hal ini perkara perdata oleh hukum
diberikan pilihan hukum untuk memilih hukum yang merefleksikan rasa
keadilannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar